Timun Jelita

Raditya Dika

Timun Jelita mengisahkan tentang Timun, seorang akuntan berusia 40 tahun, dan sepupunya, Jelita, seorang mahasiswi. Keduanya pernah mencintai musik dan sempat memiliki band. Namun, keadaan memaksa mereka meninggalkan kesenangan itu untuk sementara waktu.

Suatu hari, gitar kesayangan almarhum ayah Timun muncul kembali dalam hidupnya. Kehadiran gitar klasik ini membangkitkan kembali impian masa SMA Timun untuk tampil bersama band di depan ratusan penonton. Tergerak oleh kenangan itu, Timun mencoba menghubungi teman-teman band lamanya, tetapi sayangnya, mereka semua telah sibuk dengan kehidupan masing-masing.

Saat itulah Timun teringat pada Jelita, sepupunya yang juga mencintai musik dan pernah memiliki band sendiri. Dengan berbagai upaya, Timun membujuk Jelita untuk kembali bermusik bersamanya dan mereka membentuk duo bernama “Timun Jelita.”

Review

Saat membuka novel Timun Jelita, pembaca langsung disambut dengan sebuah pertanyaan reflektif dari Raditya Dika yang tertera di kartu ucapan bukunya:

“Jadi gimana, mau kayak Timun juga nggak, ngikutin passion yang sudah lama hilang?”

Kalimat pembuka ini bukan hanya sekadar gimmick, tapi menjadi semacam undangan untuk ikut masuk ke dalam perjalanan personal seorang pria 40 tahun bernama Timun yang kembali menemukan gairah bermusiknya lewat gitar peninggalan ayahnya.

Dengan premis yang unik dan tidak biasa, novel ini membawa pembaca menyusuri tema yang jarang diangkat: tentang mimpi lama yang sempat terkubur, dan keberanian untuk menggalinya kembali. Meski mengangkat isu yang cukup emosional, gaya penceritaannya tetap ringan dan cepat. Alurnya fast-paced, membuat buku ini terasa cocok untuk dibaca dalam satu kali duduk. Setiap bab terasa padat, minim basa-basi, namun tetap menyisakan ruang untuk pembaca bernapas dan merenung.

Salah satu aspek yang paling menonjol dari Timun Jelita adalah karakterisasinya. Sosok Timun dan Jelita terasa sangat hidup, realistis, dan dalam banyak hal mencerminkan potongan kehidupan yang familiar. Meskipun mereka fiksi, ada nuansa otobiografis yang samar tapi terasa — seperti melihat sisi lain Raditya Dika yang belum banyak ditunjukkan. Narasi dan dialognya pun kekinian, relatable, dan mudah dipahami, membuat novel ini terasa sangat dekat dengan realitas pembaca sehari-hari.

Dari segi tone, buku ini berhasil menyuguhkan kombinasi menarik antara humor, drama, dan refleksi. Beberapa bagian bahkan terasa menghangatkan hati (heartwarming), terutama saat Timun mulai merajut kembali mimpinya bersama Jelita. Ceritanya tidak hanya menghibur, tetapi juga memberi semangat tanpa terasa menggurui.

Namun, seperti banyak karya lainnya, Timun Jelita bukan tanpa kekurangan. Beberapa bagian narasi terasa kurang mulus dan agak berbelit, membuat pembaca harus mengulang kalimat tertentu agar memahami maksudnya. Gaya bertutur Raditya Dika yang khas dan biasanya kuat secara lisan, kadang tidak sepenuhnya terjemah dengan baik dalam format tulisan. Beberapa joke yang mungkin akan terasa lucu dalam bentuk spoken comedy justru kehilangan momennya saat ditulis, sehingga kesan komedinya jadi kurang maksimal.

Meski demikian, Timun Jelita tetap menjadi karya yang patut diapresiasi — tidak hanya karena temanya yang segar, tapi juga karena keberaniannya mengeksplorasi sisi baru dari sosok penulis yang selama ini dikenal lewat humor. Sebuah bacaan yang ringan, namun punya makna mendalam di balik kisah sederhana tentang mimpi, keluarga, dan musik.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ask the Rabbit, He Knows Where the Best Books Hide!

Subscribe to Our Newsletter

Dapatkan update terbaru seputar kegiatan klub langsung ke inbox kamu!

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.

© 2025 Created with Royal Elementor Addons