Izinkan Ernest bercerita kenapa dia segitunya sama umur 35 ini, sampe jadi inspirasi buat bikin buku ini dan tur stand-up comedy.
Pertama-tama, usia hidup rata-rata orang Indonesia itu sekitar 70 tahun. Berarti, ketika menginjak angka 35, dia udah ada di halfway point. Setengah jalan menuju game over. Aneh banget menyadari bahwa kemungkinan besar sisa hidupnya ke depan sama lamanya dengan hidup yang selama ini udah gue jalanin. Suddenly, death seems so much closer. Jadi mendadak merasa lebih menghargai hidup.
Kedua, umur 35 adalah setengah jalan dari kepala 3 menuju kepala 4. Dan ini bener-bener bikin dia senewen. Ada pepatah yang mengatakan, “Life begins at 40”. Hell no. Menurutnya, “Life begins at 30”. Kenapa? Karena di umur 30-an, dia ngerasa udah cukup punya bekal skill dan pengalaman hidup untuk bisa menjalani apa yang dia sudah jalani dengan cukup baik, sambil masih tetap bisa menyandang label “anak muda”.
Coba kita telaah. Di umur 30-an, Ernest jadi komika pertama yang bikin tur nasional, udah bikin tiga kali tur dan empat kali show tunggal, nulis tiga buku best-seller, serta nulis dan nyutradarain film yang ketika rilis bisa menarik hampir lebih dari satu juta penonton, plus dapet beberapa award bergengsi. Sebentar, jangan ngatain dia sombong dulu, karena semua ini ada tujuannya. Yaitu, pamer. Tapi, poinnya adalah, semua itu jadi keren karena dia mencapainya di umur 30-an. Coba semua itu terjadi ketika dia umur 40-an. Tetep ada kerennya sih, tapi jadi jauh lebih luntur.
Buku berjudul ‘Setengah Jalan’ ini berisi koleksi esai komedi karya Ernest Prakasa yang sebagian besar diadaptasi dari tur stand-up comedy dengan judul sama, yang digelar di dua belas kota dari April hingga Mei 2017 silam.
‘Setengah Jalan’ adalah salah satu judul esai yang menarik disimak dalam buku ini. Dalam esai ini, Ernest mengisahkan kisah singkat hidupnya sejak kecil hingga ia menikah dengan Meira. Ernest terbilang pria yang menikah di usia muda, 25 tahun, sementara istrinya 24, selisih satu tahun lebih muda darinya.
Pada usia 30-an, Ernest berhasil meraih sederet pencapaian yang cukup mengagumkan. Mulai dari menjadi komika pertama yang bikin tur nasional, menggelar tiga kali tur dan empat kali show tunggal, nulis tiga buku best seller, serta nulis dan menyutradarai beberapa film sendiri yang dapat sejumlah award bergengsi.
Bila direnungi, umur 30-an bisa disebut ‘setengah jalan’ dari kepala tiga ke kepala empat, juga bisa disebut ‘setengah jalan’ menuju usia 70 yang merupakan usia hidup rata-rata orang Indonesia. Yang terpenting bukanlah berapa lama kita hidup. Tapi, apa yang kita berikan bagi orang lain selama hidup. Makna hidup itu diukur dari kontribusi, bukan durasi (hlm. 8-10).
Esai menarik berikutnya yang menarik disimak dalam buku ini berjudul ‘Menggugat Jodoh’. Menurut Ernest, ada banyak cara untuk menentukan pasangan terbaik. Di Indonesia, salah satu konsep yang paling sering dijadikan acuan adalah “jodoh”. Menurut KBBI, definisi jodoh adalah ‘orang yang cocok menjadi suami atau istri atau pasangan hidup’.
Salah satu jargon paling awam berkaitan dengan urusan perjodohan adalah kalimat, “Yah, kalau jodoh nggak ke manalah.” Tapi untuk urusan percintaan, menurut Ernest malah bahaya.
Jangan sampai mindset “jodoh nggak ke mana” malah bikin kamu jadi malas. Nanti yang ada, calon pasangan di depan mata, orang yang mungkin akan jadi pedamping terbaikmu, malah diambil orang gara-gara kamunya terlalu santai atau merasa nggak perlu berusaha maksimal.
Hal yang penting dipahami, jangan terlalu terpaku dengan konsep jodoh. Yang terbaik adalah kita berusaha dengan segenap daya upaya. Wajar dong, berusaha keras untuk sesuatu yang kita idamkan. Ini bukan cuma berlaku untuk yang lagi mencari pasangan, melainkan terlebih untuk yang lagi mempertahankan hubungan. Karena, seperti hal-hal lain dalam hidup, cinta pun tunduk pada hukum sederhana: “Mencari tidaklah sesulit mempertahankan” (hlm. 15).