Kisah dimulai ketika Gaspar akan meninggal dalam 24 jam dan mempunyai ambisi untuk membalaskan dendam kepada orang yang menghilangkan sahabat kecilnya, Kirana.
Gaspar merupakan seorang detektif yang sejak kecil hanya tinggal bersama Babaji, laki-laki asing yang membesarkannya. Hidup tanpa kedua orang tua, membuatnya begitu kesepian dan menginginkan seorang teman.
Pertemuan Gaspar kecil dan Kirana menjadi hal yang begitu berharga bagi dirinya. Hingga kemudian, sahabatnya itu menghilang secara tiba-tiba.
Duka kehilangan sahabat, membuat Gaspar tumbuh dengan berbagai tanda tanya untuk mencari Kirana. Ia mengumpulkan berbagai petunjuk yang membawanya pada Wan Ali, ayah Kirana.
Bayangkan hidupmu hanya tersisa 24 jam. Di tengah kesadaran bahwa waktu hampir habis, apa yang ingin kamu selesaikan? Apa yang masih menggantung di masa lalu? Dalam novel 24 Jam Bersama Gaspar, Sabda Armandio menyuguhkan kisah yang penuh ironi dan absurditas tentang seorang pria yang mencoba menyelesaikan misi hidupnya: mencari kebenaran tentang sahabat masa kecilnya, Kirana, yang hilang entah ke mana.
Gaspar bukan tokoh yang mudah dicintai, namun justru karena itu ia terasa sangat manusiawi. Sebagai detektif, ia tidak tampil seperti tipikal pahlawan: ia sinis, penuh luka, dan terkadang tampak tidak peduli. Tapi justru di balik ketidakpedulian itulah, tersembunyi perasaan bersalah dan duka mendalam akan masa lalu. Gaspar adalah potret manusia yang gagal berdamai dengan kehilangan.
Sejak kecil, Gaspar hidup tanpa orang tua, diasuh oleh Babaji—sosok tua yang misterius dan jauh dari figur ayah ideal. Dalam dunia yang sunyi dan aneh, Kirana hadir sebagai satu-satunya teman yang membuat Gaspar merasa hidup. Maka ketika Kirana tiba-tiba menghilang, seluruh dunianya hancur. Ia tumbuh besar membawa pertanyaan yang tak pernah dijawab, hingga akhirnya di detik-detik menjelang kematiannya, ia memilih untuk mencari jawaban—sekaligus membalaskan dendam.
Sabda Armandio menulis dengan gaya yang khas: eksentrik, sarkastik, kadang surealis, dan penuh lapisan makna. Buku ini bukan hanya thriller atau misteri pencarian, tapi juga refleksi eksistensial yang getir dan absurd. Dunia dalam 24 Jam Bersama Gaspar dibangun dengan atmosfer yang aneh, penuh orang-orang eksentrik, organisasi mencurigakan, serta potongan masa lalu yang mengabur antara nyata dan rekayasa.
Apa yang membuat buku ini begitu menarik adalah bagaimana waktu menjadi narasi itu sendiri. Kita tahu sejak awal: Gaspar akan mati. Tapi ini bukan cerita tentang bagaimana ia mati, melainkan mengapa ia ingin mati dalam keadaan sudah menyelesaikan urusannya. Ini tentang keadilan yang selalu datang terlambat. Tentang luka masa kecil yang membusuk karena tak pernah diberi tempat untuk sembuh. Dan tentang cinta—atau tepatnya kehilangan cinta—yang tidak pernah bisa diganti oleh siapa pun.
Pertemuan Gaspar dengan Wan Ali, ayah Kirana, menjadi titik penting dalam cerita. Namun buku ini tidak menawarkan resolusi manis. Justru sebaliknya, pembaca diajak menerima bahwa tidak semua misteri bisa dijelaskan, tidak semua dendam bisa diselesaikan. Dan bahwa jawaban kadang tidak lebih memuaskan daripada ketidaktahuan.
Gaya penulisan Sabda yang lugas dan penuh ironi membuat pembaca terus terpancing untuk menyelami isi kepala Gaspar. Monolog dalam narasi internal tokohnya kerap lucu, sinis, sekaligus menyedihkan. Seolah Gaspar bukan hanya bicara pada dirinya sendiri, tapi juga pada kita—pembaca yang diam-diam mungkin juga sedang mencari “Kirana”-nya masing-masing.
24 Jam Bersama Gaspar adalah novel yang sulit dikotakkan ke dalam satu genre. Ia adalah noir, thriller, sekaligus eksistensial dan absurd. Ini adalah bacaan yang menantang, namun sangat memuaskan bagi pembaca yang menyukai cerita gelap, karakter kompleks, dan narasi yang melompat-lompat antara kenyataan dan keanehan.
Gaspar mungkin hanya punya 24 jam, tapi perjalanan batinnya akan tinggal lama di kepala pembaca. Bukan karena jawabannya, tapi karena pertanyaan-pertanyaannya yang terasa familiar: tentang kehilangan, kesepian, dan bagaimana manusia kadang mati bukan karena waktu, tapi karena luka yang tak pernah sembuh.