Di akhir masa kolonial, seorang perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus dijalaninya hingga ia memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberikan nama Si Cantik.
Cantik Itu Luka adalah salah satu karya sastra kontemporer Indonesia yang paling menonjol dalam dua dekade terakhir. Ditulis oleh Eka Kurniawan, novel ini membuka kisahnya dengan adegan tak biasa: seorang perempuan bernama Dewi Ayu bangkit dari kubur setelah dua puluh satu tahun meninggal dunia. Dari sana, pembaca langsung diajak menyelami dunia yang absurd, penuh ironi, dan dibalut dengan realisme magis. Lewat kisah Dewi Ayu dan keturunannya, Eka menelusuri sejarah Indonesia—dari masa kolonialisme hingga reformasi—dengan memusatkan narasi pada luka-luka yang diwariskan, terutama oleh dan kepada para perempuan.
Salah satu kekuatan utama novel ini terletak pada gaya penulisan Eka yang kaya metafora, sarkasme, dan keberaniannya meramu antara sejarah, fiksi, dan unsur supranatural. Karakter-karakternya, terutama perempuan, ditulis dengan sangat kompleks dan tidak satu dimensi. Lewat mereka, Eka menyinggung banyak isu sosial: patriarki, kekerasan seksual, ketimpangan kelas, hingga absurditas kekuasaan. Walaupun struktur ceritanya tidak linear dan melompat-lompat dari satu tokoh ke tokoh lain, Eka berhasil menjaga benang merah kisahnya tetap utuh dan memikat.
Namun demikian, novel ini bukan tanpa kekurangan. Beberapa bagian narasi terasa terlalu bertele-tele dan bisa membuat pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya realisme magis menjadi lelah. Selain itu, ada sejumlah penggambaran kekerasan dan seksual yang terasa eksplisit dan menimbulkan ketidaknyamanan. Walaupun konteksnya untuk memperlihatkan kebrutalan atau ironi, beberapa pembaca mungkin menilai hal ini terlalu vulgar atau repetitif. Di sisi lain, meskipun karakter perempuannya kuat dan dominan, ada kalanya penderitaan mereka terkesan terus-menerus dieksploitasi sebagai alat pendorong plot, bukan sebagai bentuk perlawanan aktif.
Secara keseluruhan, Cantik Itu Luka adalah novel yang berani, penuh muatan kritik, dan menawarkan pengalaman membaca yang berbeda dari karya sastra Indonesia pada umumnya. Ia tidak mudah dicerna dalam sekali duduk, tetapi justru di situlah letak daya tariknya: menantang, mengganggu, dan memaksa pembaca untuk tidak sekadar menjadi penonton pasif, tapi ikut merenung tentang sejarah, luka, dan makna kecantikan itu sendiri.